Belakangan ini Yauma kehilangan semangat belajarnya. Ia semakin tidak antusias mengerjakan PR yang diberikan guru di sekolah. Lima kali diadakan ulangan harian, hanya enam yang diikutinya. Ketika ujian akhir ia tetap datang walau terlambat. Dan jawaban yang ditulisnya pun asal-asalan sadja. Alhasil ketika pembagian rapor, nilai Yauma menurun drastis. Ia yang biasanya mendapat angka sepuluh di setiap mata pelajaran, sekarang jatuh terhempas bebas ke angka yang sebenarnya sangat tidak pantas untuk disebutkan. Sembilan koma delapan, itu angkanya. Sungguh menyedihkan.
Ada yang merokok, ada asap. Sekiranya begitulah perumpamaan orang jaman dahulu untuk menggambarkan bahwa segala sesuatu yang terjadi pasti ada sebabnya. Itulah yang terjadi pada Yauma. Semenjak wisuda, Buk Retha, guru idola Yauma, tak pernah lagi menginjakkan kaki di SLB. Ia memutuskan untuk merubah nasib ke arah yang lebih baik walau keputusan itu akhirnya menikam semangat dan harapan Yauma yang senantiasa menantikan kedatangannya. Dulu, saking bersemangatnya, di saat siswa-siswa yang lain tiba di sekolah jam setengah delapan, Yauma justru sudah tiba jam setengah lima. Ia tiba di mesjid untuk melaksanakan shalat subuh berjemaah. (Trus, apa hubungannya?)
Kini Yauma hanya bisa mengenang kembali masa-masa indah saat belajar bersama Buk Retha. Di atas bangku taman yang tak jauh dari sekolah, Yauma menyaksikan kemunculan pelangi beberapa saat setelah huja reda. Seakan ada kekuatan aneh yang menggerakkannya, Yauma kemudian membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah pulpen beserta secarik kertas. Kertas itu tak dibiarkannya berlama-lama kosong. Beberapa baris kalimat ia tuliskan setelah sebelumnya menatap pelangi itu untuk kesekian kali:
PLEASE, STAY WHERE YOU STAND
GIVE ME A CHANCE
I’LL SEE YOU THEN..
***
“Sore yang indah. Tak tahu kenapa, Abang selalu menyukai suasana setelah hujan. Sama seperti saat ini,” Tiba-tiba Bang Ben mendatangi Yauma. “Coba kamu lihat. Pelangi, langit jingga, serta sekumpulan burung merpati yang terbang melintasi mega. Ah, bukankah itu semua begitu indah?”
Yauma belum berkomentar. Ia hanya menganggukkan kepala.
“Hanya saja keindahan itu terasa kurang lengkap tanpa kehadiran…” Bang Ben tak melanjutkan ucapannya.
“Kehadiran?” Yauma mulai bersuara.
“Sudahlah. Kamu masih kecil. Belum waktunya mengerti tentang hal ini. Huff..” Bang Ben menarik napas dalam. Sangat dalam. Seakan mengisyaratkan betapa jiwanya ingin sekali melepaskan sekat yang selama ini menyesakkan jiwanya.
Lalu siapakah Bang Ben ini? Kalian ingin tahu? Mau saya kasih tahu? Tahu sumedang atau tahu brontak? Kalau tahu sumedang satunya seribu rupiah. Kalau tahu brontak lima ratus rupiah. Apapun tahunya, minumnya tetap teh botol Sosro. Nah, sekarang kalian mau yang mana?
Bang Ben adalah seorang pria paruh baya yang berprofesi sebagai sopir angkot. Ia anak kedua dari dua bersaudara. Ibu dan ayahnya lumayan terkenal di sekitar kawasan SLB ini karena mereka satu2nya penjual nasi goreng yang bersedia memberikan harga paling murah. Mereka dikenal dengan nama Buk Sasa dan Pak Kesno.
Bang Ben sering mampir ke SLB hanya untuk memberikan para siswa makanan ringan, seperti permen, kacang Borobudur, orong-orong, coklat, dan eskrim. Dari sekian jenis makanan itu, eskrimlah yang sering ia bawa. Mulai dari rasa coklat, vanilla, strawberry, hingga blackberry. Itulah yang menyebabkan para siswa SLB sangat dekat dengannya. Di samping itu Bang Ben juga menyukai anak-anak.
“Sedang mikirin apa, Bang?” Yauma menegur Bang Ben yang tengah hanyut dalam lamunan.
Bang Ben tersadar. “Ah, nggak ada apa-apa kok. Cuma melihat jembatan itu sadja,” Bang Ben berkilah dengan mengarahkan telunjuknya ke sebuah jembatan yang berjarak kurang lebih lima belas langkah dari tempatnya berada.
Jembatan itu diberi nama Siti Nur Hailol. Bentuknya seperti jembatan kebanyakan. Tidak ada yang special. Yang membuatnya berbeda hanya pada nama. Konon nama jembatan itu berasal dari sebuah mitos yang dipercaya masyarakat dari generasi ke generasi.
Mitos itu bermula pada suatu sore dahulu kala di penghujung tahun ketika seorang anak gadis bernama Siti Nur Hailol melarikan diri dari kejaran Datuk Haibebs. Nur Hailol adalah putri seorang camat bernama Rafki Emosi yang bergelar Sutan Berapi-api. Ia dipaksa menikah dengan Datuk Haibebs untuk melunasi hutang ayahnya. Tentu saja ia menolak. “Enakmu, deritaku.” Ucap Nur Hailol. Oleh karena itu ia memutuskan melarikan diri sejauh-jauhnya. Satu-satunya jalan ialah dengan melintasi sebuah jembatan.
Ketika sampai di tengah jembatan, dari arah belakang terdengar teriakan Datuk Haibebs.
“Hailol!” suara Datuk Haibebs terdengar keras.
“Haibebs!” Nur Hailol membalas.
“Jangan coba-coba lari dariku karena kau akan menyesalinya. Aku akan membunuh ayahmuu!” Datuk Haibebs mengancam.
“Terserah. Aku tidak peduli. Benar ku mencintai ayahku, tapi tak begini. Ia hianati hati ini. Ia curangi aku.” Ucap Nur Hailol.
“Dasar perempuan manis! Awas kau!” Datuk Haibebs semakin naik darah. Ia mempercepat langkahnya. Keringatnya mulai bercucuran. Namun ketika sampai di pangkal jembatan, mendadak langkahnya terhenti.
“Haibebs! Jangan coba-coba menginjakkan kakimu di jembatan ini!” Seorang pemuda tampan datang menolong Nur Hailol. Perawakannya menarik. Kulitnya putih. Rambutnya seperti vokalis My Chemical Romance album pertama. Wajahnya ganteng. Makanya ia dikenal dengan sebutan Samsul Ganteng yang disukai kebanyakan perempuan dan dicintai seorang pria yang suka bernyanyi.
“Jembatan ini telah meghubungkan hati kami yang dipisahkan waktu. Jangan sekali-kali kau merusaknya. Lebih baik kau pergi atau kau mati!” Samsul Ganteng menghunuskan pedangnya.
Singkat cerita Datuk Haibebs tidak mendengarkan peringatan Samsul Ganteng. Ia akhirnya tewas setelah tertancap pedang emas Samsul Ganteng tanpa sempat setapak pun menginjakkan kakinya di jembatan itu.
Sejak saat itu sampai saat ini masyarakat mempercayai bahwa barang siapa yang melewati Jembatan Siti Nur Hailol menjelang akhir tahun, maka ia akan menemukan pasangan jiwanya. Lalu untuk siapa pun yang selalu sabar menanti, di malam hari ia akan melihat sepasang ikan emas berkilauan yang berenang di sungai tepat di bawah jembatan itu. Ikan itu kemudian akan berenang membentuk sebuah gambar yang konon dipercayai sebagai gambar pasangan jiwa orang yang menanti itu.
***
“Yakult, Yakult. Sudahkah anda minum Yakult hari ini?” Perempuan bersepeda itu memanggil-manggil para pembeli. Ia mengenakan seragam khusus yang diperuntukkan bagi penjual minuman itu. Lama berselang tak satu pun pembeli yang datang. Lalu ia memutuskan untuk beristirahat di tepian Jembatan Siti Nur Hailol.
Di saat yang bersamaan seorang pemuda bertopi Elger dan mengenakan jaket berwarna merah melewati jembatan itu. Ia mendapati perempuan itu tengah berkipas-kipas menghilangkan panas dan lelah.
“Jualan apa, Mbak?” tanya pria itu.
“Eh, Mas. Ini, saya jualan Yakult. Sudahkah Mas minum Yakult hari ini?” ucap perempuan itu.
“Sudah dong. Saya minum dua. He..he..” Kemudian pria itu memberanikan diri untuk berkenalan. Sekitar sepuluh menit berlalu, didapatinya lah nama perempuan itu.
“Jadi nama kamu si Mbak? Nama yang manis. Sama kaya orangnya. He..he..” pria itu menggaruk kepalanya. “Oh ya. Perkenalkan nama saya Ari. Panggil sadja Bang Ari. Saya ketua pemuda di kampung ini.”
“Jadi, Bang Ari mau beli berapa banyak?” si Mbak bertanya. “Kalau Bang Ari beli semuanya, maka Bang Ari dapat potongan harga. Gimana?” lanjut si Mbak.
“Ga usah pakai potongan harga. Saya tetap beli semuanya asalkan saya bisa mendapatkan hati kamu.Deal?”
“Ah, Bang Ari ini bisa sadja. Tanpa membeli pun Bang Ari sudah mendapatkan hati saya. Pandangan pertama menjadi sebabnya,” pipi si Mbak merona.
Selanjutnya mereka berbincang-bincang di atas jembatan itu. Peran sebagai penjual dan pembeli tidak berlaku lagi. Yang ada hanya pertemuan dua hati. Cukup lama mereka berbincang hingga akhirnya mereka saling bergandengan tangan meninggalkan jembatan itu.
Selepas pasangan itu berlalu, datanglah Pak Ikrar yang bersusah payah mendorong vespanya yang mogok. Sesampainya di persimpangan jembatan ia mendatangi Yauma dan Bang Ben yang duduk tak jauh dari jembatan itu.
“Punya obeng nggak? Vespa saya mogok nih,”
Yauma dan Bang Ben serempak menggelengkan kepala. Dan serempak pula jari telunjuk mereka mengarah ke sebuah bengkel di seberang jembatan. Pak Ikrar mengerti. Ia bergegas melintasi Jembatan Siti Nur Hailol untuk segera menuju bengkel. Entah mujur atau malang, Pak Ikrar justru menabrak sebuah gerobak sayur yang juga hendak melintasi jembatan itu.
“Aduh. Maaf. Maafkan saya. Tadi itu tidak sengaja. Saya sedang buru-buru,” ucap Pak Ikrar.
“Tidak perlu minta maaf. Bukan salah anda. Saya nya yang ceroboh,” perempuan itu mencoba mengalah.
Semua tidak selesai sampai di acara saling minta maaf. Pak Ikrar langsung mendekati gerobak itu dan memunguti kembali sayuran yang berserakan. Perempuan itu pun berbuat hal yang sama. Dalam masa itu mereka juga sempat bercakap-cakap. Sama seperti yang dilakukan pasangan tadi.
“Manis-manis kok jualan sayur?” tanya Pak Ikrar.
“Kalau manis itu memang saya. Tapi kalau jualan sayur itu hanya sandiwara.” Perempuan itu mengusap keningnya yang mulai berkeringat. “Saya sedang latihan drama. Saya kebagian peran menjadi tukang sayur. Supaya lebih menghayati peran, maka saya diminta untuk benar-benar jualan sayur. Begitu,”
“Duh. Kok tiba-tiba jantung saya berdebar kencang ya,”
“Kenapa emangnya?”
“Entahlah. Setiap kali bertemu perempuan yang menyukai sastra, jantung saya selalu seperti ini,”
“Saya juga jago bikin puisi loh,” perempuan itu promosi.
“Oh ya?” Pak Ikrar tersepona. “Beruntungnya pria yang bisa mendapatkan hati anda,”
“Ah, jangan begitu. Saya justru merasa pria itu ada di sekitar sini. Tapi persisnya di mana saya tidak tahu,” perempuan itu memandang sekelilingnya.
“Anyway, kalau saya berikan anda satu peran lagi apakah anda bersedia?”
“Peran apa?”
“Menjadi kekasih saya?”
Perempuan itu tak lantas menjawab. Ia menundukkan pandangannya. Dalam keadaan itu tampak pipinya perlahan-lahan memerah. Ada perasaan ganjil yang meliputi batinnya.
“Tapi, bukankah sebuah peran hanya bersifat sementara. Ketika sandiwara berakhir, maka peran itu pun ikut berakhir,”perempuan itu berbicara dalam sikap yang sama.
“Jangan khawatir. Saya tidak memberikan anda sebuah peran dalam panggung sandiwara. Peran anda sekarang ada dalam kehidupan nyata. Berakhir atau tidaknya kembali kepada kita. Saya akan tetap mempertahankan peran anda ini. Anda tahu mengapa? Karena saya akan selalu ada untuk anda” Pak Ikrar menjawab dengan bahasa berbau sastra.
“Jikalau memang begitu, tak ada alasan bagi saya untuk menolak tawaran anda,” kali ini perempuan itu memandang Pak Ikrar lekat.
“Bagimana seharusnya saya memanggil anda?” perempuan itu melanjutkan.
“Terserah. Jika anda memanggil saya Romeo, saya akan memanggil anda Juliet,”
“Jika saya memanggil anda Ariel?”
“Pastinya saya akan memanggil anda Luna Maya,”
“Kalau saya memanggil anda Shahrukh Khan?”
“Sudah barang tentu saya akan memangil anda Amitabacan,”
“Kok Amitabacan?” perempuan itu sedikit protes.
“Karena kalau saya panggil anda Azis Gagap tentunya akan semakin mengerikan,”
“Oke lah kalau begitu. Boleh saya tahu nama anda siapa?”
“Oh, maaf. Nama saya Ikrar. Ikrar Saputra,”
“Nama yang ganteng. Saya suka,”
“Dan nama anda adalah Ami. Bukan begitu?”
“Bagaimana anda bisa tahu? Apakah hati kita telah memberikan isyarat masing-masing? Ataukah di kehidupan yang sebelumnya kita pernah berjumpa? Oh, cinta memang sebuah misteri,” ucap perempuan itu dengan gaya membaca puisi.
“Anda jangan berlebihan kaya gitu ah. Bukannya anda sendiri yang menuliskan nama anda di gerobak itu?”
Setelah puas bercakap-cakap, pasangan itu akhirnya meninggalkan Jembatan Siti Nur Hailol. Mereka pulang bergandengan. Bergandengan gerobak sayur. Sementara vespa yang mogok itu ditinggalkan Pak Ikrar begitu sadja.
***
“Sebentar lagi Magrib. Abang pulang dulu,” Bang Ben beranjak dari tempat duduknya. “Kamu nggak pulang?”
“Saya shalat Magrib dulu. Habis itu baru pulang. Bang Ben duluan sadja,”
Bang Ben kemudian mengayunkan langkahnya satu per satu. Rumahnya memang tidak jauh. Akan lebih dekat lagi bila ia melintasi jembatan Siti Nur Hailol. Di hari-hari biasa ia sering melalui jembatan ini. Namun menjelang akhir tahun seperti saat ini, ia malah memikirkan mitos itu. Seharusnya ia sudah melangkahkan kakinya di jembatan Siti Nur Hailol dari tadi. Tapi tak kunjung ia lakukan. “Hati ku mau. Pikiranku meragu. Aku belum siap. Seandainya ku lewati jembatan ini, apakah aku akan menemukan pasangan jiwaku? Siapa yang bisa memberi kepastian. Bagaimana bila nantinya kenyataan tidak sesuai dengan yang kuharapkan?” Bang Ben bicara sendiri. Lama ia terpaku menatap jembatan itu hingga akhirnya ia memutuskan untuk melewati jalan yang lain.
***
Selesai mengerjakan shalat magrib, Yauma bergegas pulang. Namun ditengah perjalanan ia teringat akan tasnya yang tertinggal di bangku taman tadi. Ia pun akhirnya kembali ke tempat itu.
Setelah mendapatkan tas itu, Yauma kembali melanjutkan perjalanan pulangnya. Baru sadja tiga langkah ia berjalan, mendadak ia berhenti. Dari arah belakang terdengar olehnya bunyi riak air. Suara itu berasal dari sungai di bawah jembatan Siti Nur Hailol. Selain mengeluarkan suara, sungai itu juga memancarkan cahaya. Hal ini lah yang menarik perhatian Yauma hingga memaksanya mendekati sungai itu.
Ada rasa tidak percaya yang menaungi Yauma saat menyaksikan sepasang ikan mas tengah berenang saling berkejaran. Binar cahaya yang berasal dari sirip sepasang ikan itu sungguh mempesona. Berkilau layaknya sebongkah emas murni. Ikan itu kemudian berenang membentuk sebuah alur yang sulit dijelaskan. Tahap demi tahap alur itu berubah menjadi gambar sesosok perempuan. Awalnya samar-samar. Namun setelah itu gambar perempuan itu terlihat begtu jelas. Yauma benar-benar mengenali perempuan yang dimaksudkan sepasang ikan itu. Seorang perempuan yang hingga saat ini masih dinantinya.
Yauma tersenyum penuh arti. Ringan langkahnya menuju rumah. Hujan kemudian perlahan-lahan turun membasahi. Sebentar saja Yauma sudah kuyup. Ia tidak peduli. Ia tetap berjalan santai, sesantai hatinya berujar,
“Semoga bukan sebuah kekeliruan bila aku masih setia mengharapkan pelangi setelah hujan,”
Desember 2009